Habitat matoa memang menyebar di Sumatra, Jawa, Sulawesi, Pulau Sumbawa (NTB), Maluku, dan Papua. Di Sumatra matoa sering disebut kasai, pakam, dan kungkil. Sunda: leungsir, Jawa: kayu, sapi, Kalimantan: kasai gunung, pakam, kungkil, Sulawesi: landing, kase, nautu, latut. Nama matoa sendiri berasal dari Maluku. Sebutan lainnya hatobu, ngaeke, ngaahe, kai. Di papua: ihi, miti, habele, dan tawa.
Dalam perdagangan internasional matoa kerap dikenal sebagai Fijian longan. Pohonnya memang banyak ditemukan di negara yang terletak di Samudra Pasifik itu. Penduduk setempat menyebutnya dawa.
Pohon matoa mencapai ketinggian 50 m. daun berukuran besar, bundar sampai bundar memanjang. Tulang daun tegas menonjol kebawah, dan tepi bergerigi. Tangkainya mencapai 1 m. bunga majemuk muncul dari ujung tangkai daun.
Buah bulat lonjong seukuran telur puyuh. Kulit licin, berwarna hijau waktu muda, cokelat kehitaman begitu masak. Kulit buah tipis dan kering melindungi daging yang bening, kenyal, manis, dan berair. Di dalamnya ada biji kecil berwarna cokelat kehitaman dan mengkilap.
Hasil observasi Sudarmono, peneliti Kebun Raya Bogor, matoa asal Indonesia timur yaitu Sulawesi, Maluku, dan Papua, lebih manis dan berdaging lebih tebal. Rasanya kombinasi rambutan, lengkeng, dan durian. Selain dimakan segar, buah dibuat manisan, sirup, atau jeli. Para pendatang di Papua sangat menyukai anggota keluarga Sapindaceae itu sebagai buah meja. Uniknya matoa justru kurang popular dikalangan penduduk asli cendrawasih itu. Di Sumtera Selatan penduduk menikmati panggangan biji yang berlemak.
Beberapa manfaat dari pohon matoa, diantaranya:
Kulit kayu dipakai masyarakat priangan untuk mengobati luka. Penduduk Papua menggunakan daun yang besar sebagai mulsa pada penanaman gembili atau gadung. Di Malaysia rebusan daun dan kulit kayu dipakai mandi untuk mengatasi demam. Kayunya cukup kuat untuk tiang bangunan, lantai, kusen, dan perahu.
Masyarakat Fiji menggunakan ekstrak daun matoa untuk menghitamkan rambut. Rendam daun di air panas baik untuk mengobati disentri. Sedangkan influenza dan nyeri tulang sendi diobati dengan cairan yang diperas dari kulit kayu bagian dalam. Konon kayu itu juga bersifat kontraseptif.